Akhir-akhir ini, perempuan pendiam itu sangat menginginkan
dan mendambakan sebuah ketenangan. Ketenangan yang membawanya pada suatu masa
indah yang tak ternilai. Suasana yang menemaninya pada seribu buah bahan
pikiran. Suasana yang menyejukkan hatinya...
Dalam doa dan sujudnya tak lupa dan tak pernah terlewatkan,
panjatan hati yang mengharap sebuah ketenangan. Ketenangan yang rasanya jadi
bahan langka di abad dua puluh satu ini, abad yang katanya semua serba modern. Abad,
ketika perubahan tak mengenal waktu.. ketika suasana hening nan syahdu telah
digantikan oleh musik-musik meriah ala amerika. Masjid yang harusnya penuh
kekhusyuan digantikan dengan ocehan para pengunjungnya yang telah lupa
bagaimana cara menghargai dan menghormati para manusia yang sedang beribadah.
Tertawa, berteriak tak karuan, dan berkata semau mulut berucap, sudah menjadi
hal yang lumrah sampai menjadi hal yang tak ada takarannya, tak ada batasnya.
Di zaman seperti ini, bagaimana ketenangan dapat tetap ada
pada jiwa-jiwa manusia? Bagaimana ketenangan diciptakan? Dan bagaimana mencari
cara yang dapat membawa dan menempatkan kembali ketenangan pada hati-hati
manusia? Bagaimana... Bagaimana... Bagaimana... Perempuan itu selalu
bertanya-tanya...
Waktu yang lalu, perempuan itu begitu sibuk berpikir. Banyak
berpikir. Tentang bagaimana dia tetap tenang dalam suasana seperti ini... Dia
tak mau terlarut dalam suasana semu yang tak ada nilainya... Namun bagaimana
dia harus keluar? Bagaimana... Bagaimana dia bisa tenang ketika membaur dengan
kebisingan... Bagaimana dia tetap tenang ketika berada dikeramaian...
bagaimana tetap tenang walau hati penuh kepiluan... Dimana ia harus mencari
ketenangan.. Haruskah dia mencari? Atau mencipta?
Sulit rasanya, ketika harus beradaptasi dengan suasana yang
tak diinginkan. Dengan lingkungan yang tak pernah ia dambakan... Terlebih
dengan manusia-manusia yang sama sekali tak pernah dia harapkan.. sulit rasanya
merayakan kepedihan... berteman dengan keramaian dan kebisingan yang mereka
buat-buat, yang mereka cipta tanpa adanya ikatan rasa, hanya nafsu belaka...
sulit dan muak. Muak dengan segala yang ada didepan mata... Dan bagaimana dia
harus tenang menghadapi semua?
Perempuan itu paham... bukan suasana dan orang-orang yang
ada didalamnya yang patut disalahkan.. Mereka hanya bagian dari skenario
hidupnya yang mungkin berantakan. Dan bagaimana caranya untuk keluar dan
berusaha menikmati hidupnya, menurutnya, hanya dengan ketenangan yang akan
membawa pada keikhlasan atas suasana yang begitu tak diinginkannya..
Dia paham... dia terlalu bodoh dan tak bertanggung jawab
untuk menyalahkan mereka...
Dia paham... dia terlalu lancang untuk muak terhadap
semuanya...
Dia paham... dia terlalu angkuh untuk menyatakan bahwa
hidupnya harus sempurna...
Tapi yang dia butuh hanyalah ketenangan... ketenangan untuk
menghadapi semua...
Perempuan itu tak punya banyak harta untuk membeli
ketenangan... membeli suasana tenang dan asri dipegunungan.. Apalagi
pemandangan indah diluar sana... dia tak punya uang... Dia bukan orang kaya
yang dapat dengan mudah menukar uangnya demi ketenangan.. dan hanya dengan
menciptakannya dia mampu mempunyai ketenangan...
Dia hanya punya jiwa.. raga.. dan hati..
Hartanya yang paling berharga adalah hatinya... Alat yang
paling berharga adalah raganya... Sesuatu yang tak ternilai adalah jiwanya...
Yang dia butuhkan adalah menciptakan ketenangan... dan tanpa yang tercinta...
Ketenangan tak akan bisa tercipta..
Karena menurutnya... ketenangan adalah harga tak ternilai
dari Sang Pencipta...
Karunia yang takkan ada habisnya, yang Ia berikan pada
hambanya yang tersayang...
Hanya ketenangan... perempuan itu hanya butuh ketenangan...
Agar dia bisa bersahabat dengan penderitaan..
Dan dalam setiap sujud, rukuk, dan dirinya... Tak lupa ia
pinta ketenangan...
Ketenangan yang tak ternilai dari-Nya...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar